Skip to main content

Dari Den Haag Hingga Bojong Semarang: Riwayat Indische Partij dan Media De Indier 1913-1923

                                           

Tepat 110 tahun terkenang tokoh-tokoh radikal yang melakukan usaha pembebasan nasional masyarakat Hindia. Yang mana giat menyerang langgengnya kolonialisme Belanda baik melalui wacana media maupun aktivitas politik. Di bawah naungan partai politik perdana di Hindia Belanda yakni Indische Partij, para anggota juga simpatisan acap kali menentang pemerintah dan negara Hindia Belanda. Mereka dengan sadar mencoba merobohkan sistem koloni, dengan konsekuensi logis menjadi lawan-musuh negara beserta alat-alatnya (penjara, polisi, militer, media, dll). 

Sepenggal cerita ini akan memaparkan bahwa baik orang berdarah campuran, Belanda totok, timur asing, maupun pribumi bekerja sama guna melawan kolonialisme. Tidak sesempit pandangan ras kulit sawo matang melawan ras berkulit putih. Sedikit banyak penulis akan menjabarkan bahwa perjuangan Hindia yang nantinya akan menjadi sebuah bangsa yang merdeka tidak diusung oleh hanya satu golongan saja, ia plural terhimpun dari beragam golongan.

Para Buangan Saat Tiba di Belanda September 1913

Sumber: buku The Netherland Indies and The Great War 1914-1918


Diawali sebuah utas dokumentasi para bannelingen (buangan) di atas. Dapat dilihat terdapat ragam tokoh Indische Partij juga simpatisan. Berdiri dari kiri Frans Berding (anggota Indische Partij), Gustaaf Lodewijk Topee (Ketua Indische Partij cabang Semarang, Komisaris NIS), J. Vermaesen. Duduk di sebelah kiri Tjipto Mangoenkoesoemo (Wakil Ketua Indische Partij), Ernest Douwes Dekker (Ketua Indische Partij), Soewardi Soerjaningrat (Kontributor di Comite Boemipoetra, dan De Expres sejak 1914).


Pembaca akan melihat betapa nyala api Indische Partij tetap melakukan usaha dalam hubungannya dengan kerja-kerja jurnalistik. Ada beberapa kesamaan tujuan pada ragam media yang menghidupi tubuh Indische Partij. Sama seperti De Expres 1912 (Bandung) dan De Beweging 1917 Semarang yang mengalami gejolak dan pasang surut. Media De Indier tak jauh berlainan. 

Media De Indier ada di negeri induk (1913) juga di wilayah jajahan yang terbit belakangan pada tahun 1917. De Indier  1913 seringkali memberitakan apa-apa yang terjadi di Hindia agar terdengar nyaring di dunia internasional melampaui batas-batas negara. Di posisi ini De Expres sebagai media perdana Indische Partij tetap menerbitkan tulisan-tulisan dari kontributor Hindia, juga luar negeri. Seperti tulisan Soewardi Soerjaningrat yang terbit antara tahun 1914an masa pengasingan. (De Expres 30 Maret 1914) 

Semangat para tokoh tetap ada tatkala mereka dihadapkan dengan masalah–masalah serius seperti kehilangan pekerjaan, kawan, keluarga, juga jaringan yang sudah dibangun. Mereka tetap teguh pendirian dengan cita-cita Hindia yang terbebaskan. Seperti cerita tawaran uang, tetapi ditolak oleh orang-orang buangan.


Majalah Mingguan De Indier Den Haag 1913-


Sumber: Buku Di Negeri Penjajah: Orang Indonesia di Negeri Belanda 1600-1950.


Mingguan De Indier terbit pertama kali pada bulan Oktober 1913 di wilayah Den Haag, Belanda. Ini berhubungan dengan para tokoh buangan berusaha mengorganisir diri di tanah pengasingan. Tampil sosok Frans Berding (Belanda totok), dan Tjipto Mangunkusumo (pribumi) menjadi pengurus utama media yang baru terbit sekitar bulan Oktober 1913. Frans Berding menjadi editor majalah De Indier yang mana media ini bersifat pro-hindia dan terbuka bagi kritik yang jujur dan simpatik terhadap kekuasaan kolonialisme. (der Veur, 2006: 269) Majalah ini menjadi tangan panjang De Expres saat beberapa orang penting Indische Partij mendapatkan hukuman pengasingan ke negeri Belanda.

Meski sudah ada perkumpulan pemuda Hindia di negeri Belanda bernama Indische Vereeniging [Sarekat Hindia]. Nyatanya organisasi ini lebih asyik dengan masalah “hidup di tanah rantau”. Angin segar menyelimuti pergerakan di wilayah Belanda. Sejak kedatangan para buangan, hasrat pergerakan cenderung makin radikal.(Sulaiman Harahap, 2018: 3) 

Di tingkat parlemen, para buangan mengusahakan perhatian terhadap para tokoh-tokoh liberal yang mendukung kebebasan Hindia, juga guna Indische Partij mendapat pengakuan sebagai organisasi resmi berbadan hukum, atau juga usaha-usaha untuk mencabut hukuman pengasingan tokoh Indische Partij.

De Indier 1913 menjadi media perlawanan kaum buangan di wilayah Belanda. Salah satu wacananya adalah menyebarkan pengetahuan tentang kehidupan yang ada di negeri jajahan. Selang satu bulan saja saat para buangan datang di Belanda pada bulan September 1913, segera mengusahakan terciptanya media baru guna perjuangan Indische Partij di tanah perantauan. (E.F.E Douwes Dekker, 1914: 193) Usaha ini membuahkan hasil dengan munculnya para simpatisan kaum progresif liberal yang mendukung perjuangan  Indische Partij terkhusus dari tokoh SDAP (partai buruh Belanda).


Koran De Indier Semarang 1917-1923

Sumber: Delpher

Di saat Tjipto fokus terhadap majalah Voorpost di wilayah Solo di tahun 1916an, muncul semangat untuk menerbitkan media De Indier di wilayah Semarang pada tahun 1917. Ini menjadi semacam reorganisasi media De Indier yang telah lama terbentuk di Belanda. Tercatat pengurusnya adalah J.F.H.A. Later (yang juga redaktur De Indische Beweging 1917 yang terbit di Semarang). Majalah De Indier yang awalnya terbit di wilayah Belanda pada tahun 1913 disadur ulang menyerupai koran di Semarang pada tahun 1917. Tentunya dengan para pengurus dan redaktur yang berbeda. 

Kota Semarang pada akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20 menjadi kota nomor dua di Hindia Belanda setelah Batavia. Kita tahu sendiri kota  Semarang menjadi wahana yang cukup radikal bagi sebuah perkumpulan. Sebut saja Sarekat Islam Semarang yang begitu kental dengan aliran sosialis. VSTP yang terkenal dengan buruhnya yang begitu radikal. Insulinde yang terkenal sebagai organisasi sosialis. (Kees van Dijk, 2007: 455) 

Wilayah Bojong menjadi salah satu wilayah elit di kota Semarang. Banyak toko-toko besar berderet di wilayah Bodjong pada masa kolonial. Redakturnya menetap di wilayah ini dengan. Media De Indier Semarang 1917 bubar pada 30 April 1923. (der Veur, 2006:759) Ini akan nampak jelas dalam tulisan veur yang mana ia menjelaskan bahwa majalah ini diberhentikan. Tahun-tahun ini pula berbarengan dengan pecahnya organ Nationaal Indische Partij (NIP).


Daftar Pustaka: 

Koran

De Expres 30 Maret 1914


Buku

Dijk, Kees van. 2007. The Netherland Indies and The Great War 1914-1918. Netherland: KITLV Press.

Douwes Dekker, E.F.E. 1914. Het Jaar 1913 in Zijn Beteekenis Voor De Indische Beweging. Schiedam: De Toekomst.

Poeze, Harry A. 2008. Di Negeri Penjajah: Orang Indonesia di Negeri Belanda 1600-1950, Jakarta: KPG.

Van der Veur, Paul W. 2006. The Lion and The Gadfly Dutch Colonialism and The Spirit of E.F.E. Douwes Dekker. Netherland: KITLV Press.


Internet

                Delpher


Comments

Popular posts from this blog

Riwayat Cokelat dan Keju di Indonesia yang Amburadul Tapi Disukai

foto: cokelat keju dalam kuliner martabak Sejak saya mulai mendalami dunia kuliner—baik lokal maupun mancanegara—saya sadar ada sesuatu yang unik sekaligus membingungkan dari kuliner Indonesia. Banyak makanan kita “keluar jalur,” baik dari sisi bahan baku maupun cara pembuatannya. Salah satu contohnya adalah cokelat dan keju , dua produk impor yang kini sudah melebur ke dalam berbagai makanan Indonesia. Cokelat dan keju di Indonesia bukan hanya pelengkap rasa, tapi sudah jadi identitas. Kombinasi keduanya kini ada di mana-mana: di martabak, pisang goreng, roti bakar, bahkan kue-kue ulang tahun. Tapi, apakah cokelat dan keju yang kita nikmati benar-benar “asli”? Cokelat Indonesia: Antara Produsen Besar dan Konsumen Gula Indonesia adalah salah satu produsen kakao (biji cokelat) terbesar di dunia, berada di peringkat ke-7 berdasarkan data International Cocoa Organization (ICCO) tahun 2021/2022. Namun, saat cokelat Indonesia dibawa ke forum internasional, beberapa orang asing justru mempe...

Sang Pembunuh Tuhan: Hampir Mati di Tanah Koloni

      Telah banyak artikel yang menjabarkan bagaimana Nietzsche melebarkan sayap Zarathustra . Ia tumbuh dalam semangat modern ‘romantik’ ; yang mana berangkat dari keresahan hidup dimana moralitas hanya dimonopoli kaum penguasa. Baginya, semua bentuk usaha adalah sama dan tidak ada yang lebih baik dari pada yang lain. Ia menyimpulkan kehidupan adalah bentuk dari penderitaan. Pengejawatan dari ini, Che menawarkan manusia harus berusaha menjadi manusia super. Maka muncul filsafat nihilisme ala Che yang berusaha mendobrak tatanan arus zaman.         Dan saya sedang tidak ingin membicarakan hal di atas secara berkepanjangan, karna tentu sudah diulas oleh banyak penulis yang sudah pasti lebih serius. Apa yang saya ajukan adalah laporan pembacaan mengenai gerakan nihilis bukan Nietzsche yang menyebar menjadi sebuah gerakan politik. Tapi oleh karena pembunuh Tuhan belum mati sepenuhnya, sedikit banyak artikel ini akan menyinggung sebagai ses...