Sejak saya mulai mendalami dunia kuliner—baik lokal maupun mancanegara—saya sadar ada sesuatu yang unik sekaligus membingungkan dari kuliner Indonesia. Banyak makanan kita “keluar jalur,” baik dari sisi bahan baku maupun cara pembuatannya. Salah satu contohnya adalah cokelat dan keju, dua produk impor yang kini sudah melebur ke dalam berbagai makanan Indonesia.
Cokelat dan keju di Indonesia bukan hanya pelengkap rasa, tapi sudah jadi identitas. Kombinasi keduanya kini ada di mana-mana: di martabak, pisang goreng, roti bakar, bahkan kue-kue ulang tahun. Tapi, apakah cokelat dan keju yang kita nikmati benar-benar “asli”?
Cokelat Indonesia: Antara Produsen Besar dan Konsumen Gula
Indonesia adalah salah satu produsen kakao (biji cokelat) terbesar di dunia, berada di peringkat ke-7 berdasarkan data International Cocoa Organization (ICCO) tahun 2021/2022. Namun, saat cokelat Indonesia dibawa ke forum internasional, beberapa orang asing justru mempertanyakan kualitas dan kecakapan produksi cokelatnya. Ironis, bukan?
Cokelat yang beredar di Indonesia umumnya bukanlah cokelat asli, melainkan produk olahan yang lebih banyak berisi gula, susu, dan bahan lain. Kakao—bahan utama cokelat—hanya menyumbang 25–35% dari kandungan cokelat batang populer di pasaran. Sisanya? Gula menjadi raja.
Kenapa kita begitu doyan gula? Jawabannya ada di sejarah panjang bangsa Indonesia. Pada era kolonial, Belanda menetapkan cultuurstelsel (tanam paksa) dan suiker wet (UU Gula) yang membuat tanaman tebu (penghasil gula) melimpah di Indonesia. Akibatnya, gula menjadi bahan yang mudah di dapat oleh masyarakat.
Bahkan, pada masa awal kemerdekaan, gula masuk ke dalam daftar sembako (9 bahan pokok), menegaskan posisinya sebagai kebutuhan primer. Regulasi yang tidak jelas menambah daftar alasan kenapa gula secara serampangan ditambahkan di berbagai makanan dan minuman.
Sementara itu, cokelat asli dengan rasa pahit, asam, sedikit manis dengan hint nutty flavour malah dianggap “aneh” oleh lidah banyak orang Indonesia.
Keju di Indonesia: “Keju” yang Nggak Ngeju
Keju juga menghadapi nasib serupa. Di Indonesia, keju yang sering dijumpai di minimarket adalah keju olahan, yang hanya mengandung 20–40% keju asli. Sisanya adalah bahan tambahan seperti pengemulsi, garam, dan minyak nabati. Beberapa produsen bahkan tidak mencantumkan kandungan kejunya sama sekali.
Bandingkan dengan Eropa, tempat keju seperti Gorgonzola memiliki sertifikat Protected Designation of Origin (PDO) yang diatur oleh Uni Eropa. Sertifikat ini memastikan bahwa keju tersebut diproduksi sesuai standar tradisional dan hanya di wilayah asalnya. Kalau kamu bikin keju Gorgonzola di kontrakanmu, ya, maaf-maaf aja, itu nggak bisa disebut Gorgonzola.
Padahal, Indonesia sebenarnya punya keju tradisional, lho. Misalnya, keju Dangke dari Sulawesi Selatan yang bentuknya mirip tahu putih, atau keju Horbo dari Tapanuli yang terbuat dari susu kerbau. Sayangnya, keju-keju lokal ini kalah pamor dengan produk olahan yang lebih murah dan lebih mudah ditemukan.
Buat kamu pecinta keju, sekali-kali boleh dong cobain keju yang asli. kalau kamu sedang di Jogja, dan ingin ngrasain sensasi keju yang otentik, cobalah mampir ke Plaza Agro UGM. Di sana juga akan ditemukan beberapa produk seperti seperti yogurt, susu, beras organik, dan lainnya.
Kreasi Kuliner “Seenak Jidat”
Ketika otentisitas dianggap tidak penting, kita akan terus melihat kreasi kuliner ngadi-ngadi yang tak terhitung jumlahnya. Takoyaki isi ayam ungkep? Ada. Bakpia yang ngga dipanggang? ada. Mendoan garing? Juga ada. Dawet matcha? Jelas, ada!
Namun, kreativitas ini juga patut diapresiasi. Bukankah kita memang bangsa yang pandai berinovasi? Memadukan cokelat dengan keju adalah bukti bahwa lidah kita terbuka untuk eksperimen, meskipun hasil akhirnya kadang bikin orang luar negeri garuk-garuk kepala.
Closing: Perlu Balik ke “Akar” atau Biarkan Melenceng?
Otentifikasi makanan bukan hanya soal gengsi atau tradisi semata; ia adalah bentuk penghormatan terhadap akar budaya dan warisan rasa yang telah ada selama berabad-abad. Dengan begitu, kita tidak hanya menikmati makanan, tetapi juga ikut melestarikan budaya rasa yang otentik.
Pada akhirnya, mengapa kita sulit menemukan coklat dan keju yang otentik, baik dari segi bahan baku dan pembuatan. Ini menjadi tampak realistis karena produk ditujukan untuk pasar massal. Dimana yang dicari adalah kenikmatan ringan, praktis, penyesuaian selera, keterjangkauan harga, dan karena alasan yang tak begitu mempermasalahkan otentisitas.
Perpaduan cokelat dan keju di Indonesia mungkin terlihat amburadul jika dibandingkan dengan standar internasional. Tapi, bukankah justru ini yang membuat kuliner kita menarik? Meski begitu, ada baiknya kita tetap menghargai otentisitas bahan baku dan tradisi kuliner asli agar keanekaragaman rasa tetap terjaga.
Setidaknya, besok-besok kalo kamu makan martabak cokelat keju, cobalah berpikir: ini benar-benar “cokelat keju,” atau cuma nama aja?
Comments
Post a Comment