“Apa yang kalian pikirkan jika kita semua
adalah manusia pemburu-peramu? Bagaimana kalian belajar? berkomunikasi; sekedar
berbagi secangkir kopi? Adakah orang tua memarahi kita saat keluyuran terlalu larut? sampai tak
berkabar. xixi..”
Masyarakat pemburu-peramu ‘hunter-gatherer’ merupakan sekumpulan manusia yang kehidupannya bergantung terhadap alam liar ‘hutan’. Kehidupan masyarakat masih sangat sederhana, manusia hanya dituntut untuk memenuhi kehidupan sehari-hari, tak terkecuali dalam hal belajar. Proses Belajar atau pendidikan masyarakat pemburu-peramu masih bertumpu pada tingkat keluarga dan kelompok kecil yang sifatnya sederhana. Pada wilayah pedalaman di pelbagai belahan dunia, ternyata masih terdapat masyarakat yang menggunakan cara hidup pemburu-peramu. Meskipun masing-masing kelompok masyarakat memiliki bahasa dan tradisi yang berbeda, kesemuanya memiliki persamaan mendasar yang memungkinkan kita berbicara mengenai kehidupan dan pendidikan masyarakat pemburu-peramu. Penulis mencoba merangkum corak pendidikan masyarakat pemburu-peramu masa purba dan masa modern, walaupun keduanya terdapat sedikit perbedaan tetapi tak mengurangi nilai yang ada. Pendidikan sekarang mengalami perubahan yang besar karna pelbagai faktor. Beragam nilai luhur manusia terkikis pendidikan modern. Pendidikan yang sistematis jutru menjauhkan manusia dari nilai humanism ‘memanusiakan manusia’.
Selayang
Pandang
Pendidikan adalah sesuatu yang digembor-gemborkan dalam kehidupan manusia. Pendidikan
merupakan proses interaksi manusia dengan lingkungan, baik dengan sesama maupun
alam. Ia memunculkan perubahan positif dan kemajuan, baik kognitif maupun afektif yang berlangsung secara
terus-menerus guna mencapai tujuan hidup. Pendidikan harus mempunyai prinsip
kemerdekaan dan kebebasan. Manusia dengan sadar bebas menjadi apa saja
yang mereka sukai. Tak bisa disamaratakan antara
satu dengan yang lain. Tiap manusia memiliki kelebihannya masing-masing.
Pendidikan seharusnya menjadi ajang bagi setiap individu mengeksplor dirinya.
Embrio pendidikan ada sejak zaman pra-aksara. Bentuk pendidikan mengikuti sistem sosial dan ekonomi pada kala itu. Terjadi banyak perubahan seiring perkembangan zaman. Pendidikan mengalami pergeseran dari yang hanya berada pada tingkatan keluarga menjadi lebih luas dan sistematik. Pertanian (ditemukan 10.000 tahun yang lalu) merubah segala aspek kehidupan manusia, termasuk di dalam sistem pendidikan.
Begitu sederhana
bilamana kita melihat kehidupan nenek moyang kita. Manusia sangat
menggantungkan hidupnya terhadap apa yang disediakan oleh alam. Mereka hanya
belajar sebatas ketrampilan hidup. Manusia yang hidupnya di hutan memburu hewan
liar, mengumpulkan makanan
dari tanaman di sekelilingnya, sedangkan mereka yang berada di pesisir pantai
berburu ikan dan karang. Manusia hidup secara nomadic ‘berpindah-pindah tempat’. Mereka hidup berpindah dari satu
wilayah ke wilayah lain tergantung ketersediaan makanan dari alam. Kondisi alam juga mempengaruhi mereka. Peralatan yang digunakan oleh manusia pemburu-peramu pada masa itu sangat
sederhana. Alat yang digunakan adalah batu yang diasah sebagian sisinya agar
tajam guna memotong bahan makanan.
Bagaimana
kita melihat kehidupan masyarakat pemburu peramu? Pada masa pra-aksara,
masyarakat secara umum belum mengenal modernisasi seperti sekarang, sehingga
masyarakat sama sekali belum tersentuh akan dunia luar. Mereka juga masih memakai penutup badan
seadanya. Sedangkan masyarakat pemburu-peramu modern
sudah mulai mengenai pakaian seperti kebanyakan manusia pakai.Pada masa purba, hutan masih sangat luas sekali, tetapi
sekarang ini manusia pemburu-peramu memiliki keterbatasan dengan alam yang berkurang saja.
Masyarakat pemburu-peramu modern dihadapkan dengan pemberangusan lahan secara
besar-besaran guna penambangan dan kebutuhan industri yang kian masif. Terlepas
dari itu, nilai-nilai atau kebiasaan yang ada di masyarakat masih sama. Ciri
sosial-ekonomi masyarakat masih dapat digolongkan sejenis, tak terkecuali dalam
urusan proses belajar atau pendidikan.
Egalitarian adalah sesuatu nilai yang menganggap semua
manusia ditakdirkan sama atau sederajat.
Asas yang ada di dalam kelas-kelas sosial yang menganggap terdapat macam anggota dari yang pandai
hingga yang bodoh dianggap sebagai sesuatu yang sama dan mendapatkan proporsi kesempatan yang sama. Seharusnya nilai egalitarian
melekat pada pendidikan.
Kita harus mempertegas istilah pendidikan dengan sekolahan. manusia moden terlena dengan sekolah yang
berarti sebagai satu satunya tempat belajar ‘pendidikan itu ada’. Nilai-nilai luhur pendidikan
sekarang hangus melebur dengan adanya pendidikan formal. Sistem sekolah modern mengharuskan siswa menjadi sama
dengan yang lain, terdapat tingkatan atau strata di dalam sekolahan. Pendidikan
formal mementingkan privilege semata, menyebabkan tidak semua siswa
mendapatkan kesempatan yang sama.
Bagaimana
Seharusnya Belajar
Kita semua
adalah masyarakat pemburu peramu sebelum sistem pertanian di temukan (10.000
tahun lalu). Naluri manusia termasuknya cara belajar, muncul dalam konteks cara
hidup kita yang demikian. Manusia pra-aksara mendidik anak secara insting, naluriah, suatu sifat pembawaan, demi
kelangsungan hidup. Pendidikan pada awalnya dilaksanakan
secara turun-temurun. Manusia dalam
lingkup kecil saling belajar tentang bertahan hidup dari alam. Pendidikan akan membentuk manusia pemburu-peramu pada masa
pra-aksara lebih memahami kehidupan yang sebenarnya.
Pembelajaran tak memungkiri akan munculnya interaksi-interaksi baru yang berdampak kepada
kemajuan dan penemuan hal baru.
Interaksi terbatas pada lingkungan keluarga dan kelompok kecil. Jalinan secara nyata akan
berdampak kepada keadaan sosial dan ekonomi masyarakat, seperti terjadinya perubahan atau revolusi kebudayaan (revolusi neolithik). Revolusi
neolith adalah perubahan besar yang terjadi pada kehidupan manuisa. Manusia
mulai menemukan sistem sosial-ekonomi baru, yakni pergantian dari
berburu-meramu menjadi memproduksi makanan ’bercocok tanam’. Perkembangan yang lebih
maju menyebabkan manusia mengenal hal baru seperti api dan tempat tinggal yang
mulai menetap. Hal ini
terus berkembang sesuai zaman.
Pada masyarakat pemburu-peramu modern
ditemukan kesaman model
pendidikan dengan masyarakat pemburu-peramu pra-aksara. Model pendidikan berbentuk aplikatif, langsung ke
lapangan (alam terbuka).Bisa
kalian lihat masyarakat yang masih memegang erat kultur berburu-meramu adalah
masyarakat Tobelo. Masyarakat Tobelo yang ada di Hutan Halmahera, Kepualuan
Maluku mengajari anak-anak mencari bahan pokok seperti sagu, buah-buahan, dan
berburu binatang.
Pendidikan masyarakat Tobelo masih sebatas untuk
pemenuhan kebutuhan hidup sehari-hari. Mereka menganggap hutan memiliki arti
spiritual, hutan sebagai penghubung masyarakat dengan leluhur. Selain itu hutan
juga diartikan sebagai asal-usul masyarakat Tobelo. Orang Tobelo adalah
masyarakat Indonesia yang bertahan dengan cara hidup berburu-meramu di tengah
modernitas. Masyarakat tersebut kini berjuang mempertahankan alam dari para
pemilik modal dan pembalak liar, mereka adalah garda depan pelindung hutan di
daerah Maluku.
Egalitarian
Egalitarian
Pendidikan merupakan sebuah corak pendidikan yang menganggap semua manusia
adalah sama, memiliki peluang belajar yang sama pula. Penerapan pendidikan
harus memandang semua orang diperlakukan sama dalam pelbagai aspek. Pendidikan
tidak diperkenankan membandingkan antara tua dan muda, yang pintar dan bodoh,
karena pada dasarnya semua manusia dilahirkan sama. Setiap manusia memiliki
kekurangan dan kelebihannya masing-masing. Jadi, tidak ada manusia lebih unggul
dari manusia lain.
Sistem
pendidikan masyarakat pemburu-peramu dapat kita lihat dalam kehidupan
keseharian. Pemburu-peramu tinggal dikelompok nomaden kecil (terdiri 25 hingga
50 orang). Mereka belajar dalam bentuk
yang masih sangat sederhana. Mereka belajar membuat keputusan secara
demokratis, memiliki sistem etika yang berupusat pada nilai-nilai kesetaraan
dan saling berbagi, dan memiliki tradisi budaya yang kaya. Nilai nilai ini tetap
dipertahankan masyarakat. Tanpa pendidikan formal seperti sekang ini, manusia
dapat mendapatkan hak belajar yang sama di setiap masyarakat.
Suatu
kesalahan apabila jika mengira pendidikan bukan suatu yang penting bagi
masyarakat pemburu dan peramu. Menebak bahwa mereka tak perlu belajar banyak
adalah kesalah. Pada masyarakat pemburu-peramu, anak laki-laki biasanya belajar
dari orang dewasa seperti berburu, mengidentifikasi hewan buruan, membuat alat
untuk berburu. Sedangkan perempuan agar menjadi pengumpul yang efektif mereka
harus belajar mengenai akar, umbi-umbian, kacang-kacangan, biji-bijian, dan
buah-buahan. Bagaimanan menemukan, kapan waktu yang tepat, dan bagaimana cara
mengolah. Selain itu mereka juga harus belajar untuk menavigasi wilayah,
menangkis predator, membantu kelahiran, merawat bayi. Diluar ada pembagian yang
khusus, manusia harus belajar keseluruhan pengetahuan dan ketrampilan budaya
yang ada dalam kelompoknya.
Nilai
Egalitarian jelas terlihat pada masyarakat pemburu-peramu. Anak-anak tidak
diajari, mereka hanya melihat orang dewasa dan kemudian melakukan proses
indentifikasi dan selanjutnya meniru. Anak-anak pemburu-peramu harus belajar
banyak untuk menjadi orang dewasa yang berhasil. Meskipun anak-anak harus
belajar banyak, orang dewasa tidak mempunyai kurikulum atau memberi pelajaran
kepada anaknya. Anak-anak belajar sendiri melalui pengamatan, permainan dan
ekplorasi mereka. Orang dewasa tidak mengarahkan, atau menganggu kegiatan
anak-anak.
Anak
pemburu-peramu diberi kebebasan dalam berbagai hal. Kebebasan yang dinikmati
anak-anak pemburu-peramu untuk mengejar minat sendiri berasal dari pemahaman
masyarakat bahwa cara pengajaran seperti itu adalah jalan pasti menuju
pendidikan. Pemahaman itu juga datang dari semangat umum egalitarianisme dan otonomi pribadi. Orang dewasa memandang
anak-anak sebagai individu yang utuh, dengan hak-hak yang sebanding orang
dewasa. Pendapat mereka berkata bahwa anak-anak akan, atas kemauan sendiri,
mulai berkontribusi terhadap ekonomi ketika mereka benar-benar siap
melakukannya. Manusia melakukan segala hal secara naluri, tanpa paksaan.
Keinginan untuntuk tumbuh dewasa adalah motif kuat untuk menyatu.
Apa
yang Manusia Modern Tak Pelajari
Kecemasan
akan pendidikan muncul ketika pendidikan berubah dari nilai alamiahnya. Ada beberapa
nilai yang hilang dari apa yang sudah dipertahankan. Pendidikan sekarang
menghamburkan apa yang sudah nenek moyang ajarkan. Nilai-nilai luhur hilang
ditelan arus pendidikan modern. Para pemikir pendidikan melayangkan sinisme ‘satire’
terhadap realita sekarang. Pandangan Postman, menganggap proyek-proyek edukasi
’belajar’ tidak identik dengan praktik-praktik pendidikan di sekolah.
Pendidikan di sekolah bisa jadi sangat konservatif, terutama karena sekolah
lebih berperan sebagai tembok pembatas dari pada ruang yang lapang untuk
pergerakan pemikiran. Proses pendidikan di sekolah bagi para siswa tampak
sebagai sosok yang tak mengenal belas kasihan. Demikian Freire, berpendapat pendidikan
adalah pusat pembebasan manusia. Pendidikan yang membebaskan berisi
perilaku-perilaku pemahaman bukan pengalih informasi.
Pendidikan sekarang harus membawa manusia terhadap
kenyataan bahwa ia lahir dengan hak yang sama. Manusia dilahirkan sama, tidak
ada yang lebih unggul dari manusia lain. Bukan seperti pendidikan sekarang yang
mementingkan anak-anak yang pintar dan unggul saja. Semua harus mendapatkan akses yang bebas serta kesempatan–kesempatan
belajar mesti disediakan. Pendidikan sekarang harus menganggap bahwa setiap individu
istimewa, terdapat nilai yang melampaui tuntutan-tuntutan masyarakat.
Berbanding terbalik dengan realitas yang ada, semua kurikulum menganggap siswa
sama, semua diperlakukan dengan standar yang sama pula. Tidak ada pilihan bebas
terhadap apa yang mereka sukai. Pendidikan sekarang, apalagi didukung oleh
negara, melegitimasi sekolah sebagai satu-satunya tempat mendapatkan ilmu.
Ruang lingkup pendidikan bukan hanya ada di sekolah saja, tetapi juga di dalam keluarga. Keluarga merupakan bentuk pranata paling awal pada proses pembentukan individu. Pendidikan keluarga sangatlah penting. Bagaimana membentuk anak agar siap melanjutkan tingkatan hubungan dengan masyarakat atau kelompok luar yang lebih luas. Sayangnya pendidikan keluarga acap kali dianggap sebelah mata. Pendidikan keluarga mengalami pergeseran dari masa yang penuh nilai kesetaraan menuju pendidikan otoriter dan dipaksakan.
Setiap anggota keluarga seharusnya
mendapatkan hak yang sama dalam akses belajar. Pendidikan keluarga mengutamakan
yang dewasa ‘tua’ menjadikan anak tidak
bisa menjadi individu yang merdeka dan bebas. Anak selalu mendapatkan ilmu dari
orang dewasa, tanpa kebebasan untuk mencari dan mengekplorasi diri. Anak diberi
berbagai nilai dan pengetahuan dari orang dewasa. Ia selalu mendapatkan perintah dari manusia
dewasa, tidak diberi kesempatan tumbuh dewasa sesuai keinginanya. Inilah yang
menghambat anak untuk maju berkembang sesuai naluri alamiah.
Nilai egaliter ‘setara’ hilang ditengah keluarga yang kian hari kian melanggengkan keinginan manusia dewasa. Pendidikan harus dikembalikan kepada nilai-nilai luhur manusia. Karena setiap manusia memiliki kesempatan sama di dalam proses belajar. Anak secara moral setara dan harus mendapatkan kesempatan belajar sesuai pilihan mereka demi memperoleh tujuan yang mereka anggap layak.
Terdapat sekolah hewan, berisikan kambing, ayam, kucing, anjing, burung dan lain sebagainya. Sekolah modern menganggap semua itu adalah burung dan mereka harus belajar terbang. Mereka lupa tiap makhluk memiliki keunikannya masing-masing. Inilah secuil gambaran pendidikan kita dewasa ini. Tapi tak apa, tetaplah hidup.
Fatum Brutum Amor Fati
Penulis: Feby Dani
Editor : Feby Dani
Referensi:
Ahmadi, Rulan. 2015 Pengantar Pendidikan: Asas
dan Filsafat Pendidkan. Yogyakarta: Ar-Ruzz Media.
Bawaihi.
2013. Anarkisme Pendidikan, Kritik
Pengelolaan Pendidikan Dewasa Ini. Jambi: IAIN Suthan Thaha Saifuddin
Freire, Paulo. 1985. Pendidikan Kaum Tertindas. Jakarta: LP3E.
Gray, Peter. 2019. Bagaimana Anak Pemburu dan Peramu Belajar. alih bahasa: Bima
Satria Putra. Jurnal Anarki.
Jati, Slamet
Sujud Purnawan. 2013. PRASEJARAH
INDONESIA: Tinjauan Kronologi dan Morfologi. Malang: UM Press
Kang Warsa, ‘Masyarakat Penjelajah dan Pemburu’. diakses dari https://sukabumiupdate.com/detail/bale-warga/opini/56568-Masyarakat-Penjelajah-dan-Pemburu.
KBBI online.
Pidarta,
Made. 1997. Landasan Kependidikan:
Stimulus Ilmu Pendidikan Bercorak Indonesia. Jakarta: PT Rineka Cipta.
Postman,
Neil. 2002. Matinya Pendidikan: Referensi
Nilai – Nilai Sekolah. Alih bahasa: Siti Farida. Yogyakarta: Jendela.
Comments
Post a Comment