Skip to main content

EGALITARIAN PENDIDIKAN MASYARAKAT PEMBURU-PERAMU SERTA KRITIK PENDIDIKAN DEWASA INI


diambil dari freewestpapua-indonesia.com

“Apa yang kalian pikirkan jika kita semua adalah manusia pemburu-peramu? Bagaimana kalian belajar? berkomunikasi; sekedar berbagi secangkir kopi? Adakah orang tua memarahi kita saat keluyuran terlalu larut? sampai tak berkabar. xixi..”

            Masyarakat pemburu-peramu ‘hunter-gatherer’ merupakan sekumpulan manusia yang kehidupannya bergantung terhadap alam liar ‘hutan’. Kehidupan masyarakat masih sangat sederhana, manusia hanya dituntut untuk memenuhi kehidupan sehari-hari, tak terkecuali dalam hal belajar. Proses Belajar atau pendidikan masyarakat pemburu-peramu masih bertumpu pada tingkat keluarga dan kelompok kecil yang sifatnya sederhana. Pada wilayah pedalaman di pelbagai belahan dunia, ternyata masih terdapat masyarakat yang menggunakan cara hidup pemburu-peramu. Meskipun masing-masing kelompok masyarakat memiliki bahasa  dan tradisi yang berbeda, kesemuanya memiliki persamaan mendasar yang memungkinkan kita berbicara mengenai kehidupan dan pendidikan masyarakat pemburu-peramu. Penulis mencoba merangkum corak pendidikan masyarakat pemburu-peramu masa purba dan masa modern, walaupun keduanya terdapat sedikit perbedaan tetapi tak mengurangi nilai yang ada. Pendidikan sekarang mengalami perubahan yang besar karna pelbagai faktor. Beragam nilai luhur manusia terkikis pendidikan modern. Pendidikan yang sistematis jutru menjauhkan manusia dari nilai humanism ‘memanusiakan manusia’.

Selayang Pandang

            Pendidikan adalah sesuatu yang digembor-gemborkan dalam kehidupan manusia. Pendidikan merupakan proses interaksi manusia dengan lingkungan, baik dengan sesama maupun alam. Ia memunculkan perubahan positif dan kemajuan, baik kognitif maupun afektif yang berlangsung secara terus-menerus guna mencapai tujuan hidup. Pendidikan harus mempunyai prinsip kemerdekaan dan kebebasan. Manusia dengan sadar bebas menjadi apa saja yang mereka sukai. Tak bisa disamaratakan antara satu dengan yang lain. Tiap manusia memiliki kelebihannya masing-masing. Pendidikan seharusnya menjadi ajang bagi setiap individu mengeksplor dirinya.

            Embrio pendidikan ada sejak zaman pra-aksara. Bentuk pendidikan mengikuti sistem sosial dan ekonomi pada kala itu. Terjadi banyak perubahan seiring perkembangan zaman. Pendidikan mengalami pergeseran dari yang hanya berada pada tingkatan keluarga menjadi  lebih luas dan sistematik. Pertanian (ditemukan 10.000 tahun yang lalu) merubah segala aspek kehidupan manusia, termasuk di dalam sistem pendidikan.

            Begitu sederhana bilamana kita melihat kehidupan nenek moyang kita. Manusia sangat menggantungkan hidupnya terhadap apa yang disediakan oleh alam. Mereka hanya belajar sebatas ketrampilan hidup. Manusia yang hidupnya di hutan memburu hewan liar, mengumpulkan makanan dari tanaman di sekelilingnya, sedangkan mereka yang berada di pesisir pantai berburu ikan dan karang. Manusia hidup secara nomadic ‘berpindah-pindah tempat’. Mereka hidup berpindah dari satu wilayah ke wilayah lain tergantung ketersediaan makanan dari alam. Kondisi alam juga mempengaruhi mereka. Peralatan yang digunakan oleh manusia pemburu-peramu pada masa itu sangat sederhana. Alat yang digunakan adalah batu yang diasah sebagian sisinya agar tajam guna memotong bahan makanan.

            Bagaimana kita melihat kehidupan masyarakat pemburu peramu? Pada masa pra-aksara, masyarakat secara umum belum mengenal modernisasi seperti sekarang, sehingga masyarakat sama sekali belum tersentuh akan dunia luar. Mereka juga masih memakai penutup badan seadanya. Sedangkan masyarakat pemburu-peramu modern sudah mulai mengenai pakaian seperti kebanyakan manusia pakai.Pada masa purba, hutan masih sangat luas sekali, tetapi sekarang ini manusia pemburu-peramu memiliki keterbatasan  dengan alam yang berkurang saja.

            Masyarakat pemburu-peramu modern dihadapkan dengan pemberangusan lahan secara besar-besaran guna penambangan dan kebutuhan industri yang kian masif. Terlepas dari itu, nilai-nilai atau kebiasaan yang ada di masyarakat masih sama. Ciri sosial-ekonomi masyarakat masih dapat digolongkan sejenis, tak terkecuali dalam urusan proses belajar atau pendidikan.

            Egalitarian adalah sesuatu nilai yang menganggap semua manusia ditakdirkan sama atau sederajat.  Asas yang ada di dalam kelas-kelas sosial yang menganggap  terdapat macam anggota dari yang pandai hingga yang bodoh dianggap sebagai sesuatu yang sama dan mendapatkan proporsi kesempatan yang sama. Seharusnya nilai egalitarian melekat pada pendidikan.

            Kita harus mempertegas istilah pendidikan dengan sekolahan. manusia moden terlena dengan sekolah yang berarti sebagai satu satunya tempat belajar ‘pendidikan itu ada’. Nilai-nilai luhur pendidikan sekarang hangus melebur dengan adanya pendidikan formal. Sistem sekolah modern mengharuskan siswa menjadi sama dengan yang lain, terdapat tingkatan atau strata di dalam sekolahan. Pendidikan formal mementingkan privilege semata, menyebabkan tidak semua siswa mendapatkan kesempatan yang sama.

Bagaimana Seharusnya Belajar

            Kita semua adalah masyarakat pemburu peramu sebelum sistem pertanian di temukan (10.000 tahun lalu). Naluri manusia termasuknya cara belajar, muncul dalam konteks cara hidup kita yang demikian. Manusia pra-aksara mendidik anak secara insting, naluriah, suatu sifat pembawaan, demi kelangsungan hidup. Pendidikan pada awalnya dilaksanakan secara turun-temurun. Manusia  dalam lingkup kecil saling belajar tentang bertahan hidup dari alam. Pendidikan akan membentuk manusia pemburu-peramu pada masa pra-aksara lebih memahami kehidupan yang sebenarnya.

            Pembelajaran tak memungkiri akan munculnya interaksi-interaksi baru yang berdampak kepada kemajuan dan penemuan hal baru. Interaksi terbatas pada lingkungan keluarga dan kelompok kecil. Jalinan secara nyata akan berdampak kepada keadaan sosial dan ekonomi masyarakat, seperti terjadinya perubahan atau revolusi kebudayaan (revolusi neolithik). Revolusi neolith adalah perubahan besar yang terjadi pada kehidupan manuisa. Manusia mulai menemukan sistem sosial-ekonomi baru, yakni pergantian dari berburu-meramu menjadi memproduksi makanan ’bercocok tanam’. Perkembangan yang lebih maju menyebabkan manusia mengenal hal baru seperti api dan tempat tinggal yang mulai menetap. Hal ini terus berkembang sesuai zaman.

             Pada masyarakat pemburu-peramu modern ditemukan kesaman model pendidikan dengan masyarakat pemburu-peramu pra-aksara. Model pendidikan berbentuk aplikatif, langsung ke lapangan (alam terbuka).Bisa kalian lihat masyarakat yang masih memegang erat kultur berburu-meramu adalah masyarakat Tobelo. Masyarakat Tobelo yang ada di Hutan Halmahera, Kepualuan Maluku mengajari anak-anak mencari bahan pokok seperti sagu, buah-buahan, dan berburu binatang.

Pendidikan masyarakat Tobelo masih sebatas untuk pemenuhan kebutuhan hidup sehari-hari. Mereka menganggap hutan memiliki arti spiritual, hutan sebagai penghubung masyarakat dengan leluhur. Selain itu hutan juga diartikan sebagai asal-usul masyarakat Tobelo. Orang Tobelo adalah masyarakat Indonesia yang bertahan dengan cara hidup berburu-meramu di tengah modernitas. Masyarakat tersebut kini berjuang mempertahankan alam dari para pemilik modal dan pembalak liar, mereka adalah garda depan pelindung hutan di daerah Maluku.

Egalitarian

            Egalitarian Pendidikan merupakan sebuah corak pendidikan yang menganggap semua manusia adalah sama, memiliki peluang belajar yang sama pula. Penerapan pendidikan harus memandang semua orang diperlakukan sama dalam pelbagai aspek. Pendidikan tidak diperkenankan membandingkan antara tua dan muda, yang pintar dan bodoh, karena pada dasarnya semua manusia dilahirkan sama. Setiap manusia memiliki kekurangan dan kelebihannya masing-masing. Jadi, tidak ada manusia lebih unggul dari manusia lain.

            Sistem pendidikan masyarakat pemburu-peramu dapat kita lihat dalam kehidupan keseharian. Pemburu-peramu tinggal dikelompok nomaden kecil (terdiri 25 hingga 50 orang).  Mereka belajar dalam bentuk yang masih sangat sederhana. Mereka belajar membuat keputusan secara demokratis, memiliki sistem etika yang berupusat pada nilai-nilai kesetaraan dan saling berbagi, dan memiliki tradisi budaya yang kaya. Nilai nilai ini tetap dipertahankan masyarakat. Tanpa pendidikan formal seperti sekang ini, manusia dapat mendapatkan hak belajar yang sama di setiap masyarakat.

            Suatu kesalahan apabila jika mengira pendidikan bukan suatu yang penting bagi masyarakat pemburu dan peramu. Menebak bahwa mereka tak perlu belajar banyak adalah kesalah. Pada masyarakat pemburu-peramu, anak laki-laki biasanya belajar dari orang dewasa seperti berburu, mengidentifikasi hewan buruan, membuat alat untuk berburu. Sedangkan perempuan agar menjadi pengumpul yang efektif mereka harus belajar mengenai akar, umbi-umbian, kacang-kacangan, biji-bijian, dan buah-buahan. Bagaimanan menemukan, kapan waktu yang tepat, dan bagaimana cara mengolah. Selain itu mereka juga harus belajar untuk menavigasi wilayah, menangkis predator, membantu kelahiran, merawat bayi. Diluar ada pembagian yang khusus, manusia harus belajar keseluruhan pengetahuan dan ketrampilan budaya yang ada dalam kelompoknya.

            Nilai Egalitarian jelas terlihat pada masyarakat pemburu-peramu. Anak-anak tidak diajari, mereka hanya melihat orang dewasa dan kemudian melakukan proses indentifikasi dan selanjutnya meniru. Anak-anak pemburu-peramu harus belajar banyak untuk menjadi orang dewasa yang berhasil. Meskipun anak-anak harus belajar banyak, orang dewasa tidak mempunyai kurikulum atau memberi pelajaran kepada anaknya. Anak-anak belajar sendiri melalui pengamatan, permainan dan ekplorasi mereka. Orang dewasa tidak mengarahkan, atau menganggu kegiatan anak-anak.

            Anak pemburu-peramu diberi kebebasan dalam berbagai hal. Kebebasan yang dinikmati anak-anak pemburu-peramu untuk mengejar minat sendiri berasal dari pemahaman masyarakat bahwa cara pengajaran seperti itu adalah jalan pasti menuju pendidikan. Pemahaman itu juga datang dari semangat umum egalitarianisme dan otonomi pribadi. Orang dewasa memandang anak-anak sebagai individu yang utuh, dengan hak-hak yang sebanding orang dewasa. Pendapat mereka berkata bahwa anak-anak akan, atas kemauan sendiri, mulai berkontribusi terhadap ekonomi ketika mereka benar-benar siap melakukannya. Manusia melakukan segala hal secara naluri, tanpa paksaan. Keinginan untuntuk tumbuh dewasa adalah motif kuat untuk menyatu.

Apa yang Manusia Modern Tak Pelajari

            Kecemasan akan pendidikan muncul ketika pendidikan berubah dari nilai alamiahnya. Ada beberapa nilai yang hilang dari apa yang sudah dipertahankan. Pendidikan sekarang menghamburkan apa yang sudah nenek moyang ajarkan. Nilai-nilai luhur hilang ditelan arus pendidikan modern. Para pemikir pendidikan melayangkan sinisme ‘satire’ terhadap realita sekarang. Pandangan Postman, menganggap proyek-proyek edukasi ’belajar’ tidak identik dengan praktik-praktik pendidikan di sekolah. Pendidikan di sekolah bisa jadi sangat konservatif, terutama karena sekolah lebih berperan sebagai tembok pembatas dari pada ruang yang lapang untuk pergerakan pemikiran. Proses pendidikan di sekolah bagi para siswa tampak sebagai sosok yang tak mengenal belas kasihan. Demikian Freire, berpendapat pendidikan adalah pusat pembebasan manusia. Pendidikan yang membebaskan berisi perilaku-perilaku pemahaman bukan pengalih informasi.

            Pendidikan sekarang harus membawa manusia terhadap kenyataan bahwa ia lahir dengan hak yang sama. Manusia dilahirkan sama, tidak ada yang lebih unggul dari manusia lain. Bukan seperti pendidikan sekarang yang mementingkan anak-anak yang pintar dan unggul saja. Semua harus mendapatkan akses yang bebas serta kesempatan–kesempatan belajar mesti disediakan. Pendidikan sekarang harus menganggap bahwa setiap individu istimewa, terdapat nilai yang melampaui tuntutan-tuntutan masyarakat. Berbanding terbalik dengan realitas yang ada, semua kurikulum menganggap siswa sama, semua diperlakukan dengan standar yang sama pula. Tidak ada pilihan bebas terhadap apa yang mereka sukai. Pendidikan sekarang, apalagi didukung oleh negara, melegitimasi sekolah sebagai satu-satunya tempat mendapatkan ilmu.

            Ruang lingkup pendidikan bukan hanya ada di sekolah saja, tetapi juga di dalam keluarga. Keluarga merupakan bentuk pranata paling awal pada proses pembentukan individu. Pendidikan keluarga sangatlah penting. Bagaimana membentuk anak agar siap melanjutkan tingkatan hubungan dengan masyarakat atau kelompok luar yang lebih luas. Sayangnya pendidikan keluarga acap kali dianggap sebelah mata. Pendidikan keluarga mengalami pergeseran dari masa yang penuh nilai kesetaraan menuju pendidikan otoriter dan dipaksakan. 

            Setiap anggota keluarga seharusnya mendapatkan hak yang sama dalam akses belajar. Pendidikan keluarga mengutamakan yang dewasa  ‘tua’ menjadikan anak tidak bisa menjadi individu yang merdeka dan bebas. Anak selalu mendapatkan ilmu dari orang dewasa, tanpa kebebasan untuk mencari dan mengekplorasi diri. Anak diberi berbagai nilai dan pengetahuan dari orang dewasa.  Ia selalu mendapatkan perintah dari manusia dewasa, tidak diberi kesempatan tumbuh dewasa sesuai keinginanya. Inilah yang menghambat anak untuk maju berkembang sesuai naluri alamiah.

            Nilai egaliter ‘setara’ hilang ditengah keluarga yang kian hari kian melanggengkan keinginan manusia dewasa. Pendidikan harus dikembalikan kepada nilai-nilai luhur manusia. Karena setiap manusia memiliki kesempatan sama di dalam proses belajar. Anak secara moral setara dan harus mendapatkan kesempatan belajar sesuai pilihan mereka demi memperoleh tujuan yang mereka anggap layak. 

        Terdapat sekolah hewan, berisikan kambing, ayam, kucing, anjing, burung dan lain sebagainya. Sekolah modern menganggap semua itu adalah burung dan mereka harus belajar terbang. Mereka lupa tiap makhluk memiliki keunikannya masing-masing. Inilah secuil gambaran pendidikan kita dewasa ini. Tapi tak apa, tetaplah hidup.

Fatum Brutum Amor Fati 


Penulis: Feby Dani

Editor : Feby Dani

Referensi:

Ahmadi, Rulan. 2015 Pengantar Pendidikan: Asas dan Filsafat Pendidkan. Yogyakarta: Ar-Ruzz Media.

Bawaihi. 2013. Anarkisme Pendidikan, Kritik Pengelolaan Pendidikan Dewasa Ini. Jambi: IAIN Suthan Thaha Saifuddin

Freire, Paulo. 1985. Pendidikan Kaum Tertindas. Jakarta: LP3E.

Gray, Peter. 2019. Bagaimana Anak Pemburu dan Peramu Belajar. alih bahasa: Bima Satria Putra. Jurnal Anarki.

Jati, Slamet Sujud Purnawan. 2013. PRASEJARAH INDONESIA: Tinjauan Kronologi dan Morfologi. Malang: UM Press

Kang Warsa, ‘Masyarakat Penjelajah dan Pemburu’. diakses dari https://sukabumiupdate.com/detail/bale-warga/opini/56568-Masyarakat-Penjelajah-dan-Pemburu.

KBBI online.

Pidarta, Made. 1997. Landasan Kependidikan: Stimulus Ilmu Pendidikan Bercorak Indonesia. Jakarta: PT Rineka Cipta.

Postman, Neil. 2002. Matinya Pendidikan: Referensi Nilai – Nilai Sekolah. Alih bahasa: Siti Farida. Yogyakarta: Jendela.

 

 

Comments

Popular posts from this blog

Riwayat Cokelat dan Keju di Indonesia yang Amburadul Tapi Disukai

foto: cokelat keju dalam kuliner martabak Sejak saya mulai mendalami dunia kuliner—baik lokal maupun mancanegara—saya sadar ada sesuatu yang unik sekaligus membingungkan dari kuliner Indonesia. Banyak makanan kita “keluar jalur,” baik dari sisi bahan baku maupun cara pembuatannya. Salah satu contohnya adalah cokelat dan keju , dua produk impor yang kini sudah melebur ke dalam berbagai makanan Indonesia. Cokelat dan keju di Indonesia bukan hanya pelengkap rasa, tapi sudah jadi identitas. Kombinasi keduanya kini ada di mana-mana: di martabak, pisang goreng, roti bakar, bahkan kue-kue ulang tahun. Tapi, apakah cokelat dan keju yang kita nikmati benar-benar “asli”? Cokelat Indonesia: Antara Produsen Besar dan Konsumen Gula Indonesia adalah salah satu produsen kakao (biji cokelat) terbesar di dunia, berada di peringkat ke-7 berdasarkan data International Cocoa Organization (ICCO) tahun 2021/2022. Namun, saat cokelat Indonesia dibawa ke forum internasional, beberapa orang asing justru mempe...

Dari Den Haag Hingga Bojong Semarang: Riwayat Indische Partij dan Media De Indier 1913-1923

                                                       Tepat 110 tahun terkenang tokoh-tokoh radikal yang melakukan usaha pembebasan nasional masyarakat Hindia. Yang mana giat menyerang langgengnya kolonialisme Belanda baik melalui wacana media maupun aktivitas politik. Di bawah naungan partai politik perdana di Hindia Belanda yakni Indische Partij, para anggota juga simpatisan acap kali menentang pemerintah dan negara Hindia Belanda. Mereka dengan sadar mencoba merobohkan sistem koloni, dengan konsekuensi logis menjadi lawan-musuh negara beserta alat-alatnya (penjara, polisi, militer, media, dll).  Sepenggal cerita ini akan memaparkan bahwa baik orang berdarah campuran, Belanda totok, timur asing, maupun pribumi bekerja sama guna melawan kolonialisme. Tidak sesempit pandangan ras kulit sawo matang melawan ras berkulit ...

Sang Pembunuh Tuhan: Hampir Mati di Tanah Koloni

      Telah banyak artikel yang menjabarkan bagaimana Nietzsche melebarkan sayap Zarathustra . Ia tumbuh dalam semangat modern ‘romantik’ ; yang mana berangkat dari keresahan hidup dimana moralitas hanya dimonopoli kaum penguasa. Baginya, semua bentuk usaha adalah sama dan tidak ada yang lebih baik dari pada yang lain. Ia menyimpulkan kehidupan adalah bentuk dari penderitaan. Pengejawatan dari ini, Che menawarkan manusia harus berusaha menjadi manusia super. Maka muncul filsafat nihilisme ala Che yang berusaha mendobrak tatanan arus zaman.         Dan saya sedang tidak ingin membicarakan hal di atas secara berkepanjangan, karna tentu sudah diulas oleh banyak penulis yang sudah pasti lebih serius. Apa yang saya ajukan adalah laporan pembacaan mengenai gerakan nihilis bukan Nietzsche yang menyebar menjadi sebuah gerakan politik. Tapi oleh karena pembunuh Tuhan belum mati sepenuhnya, sedikit banyak artikel ini akan menyinggung sebagai ses...