Foto diambil pada perayaan Internasional Womens Day Jogja 08/03/19
-oleh Feby Dani
Patriarki merupakan sebuah budaya sosial yang
menyatakan bahwa seorang laki-laki dianggap lebih berkuasa atas perempuan dalam
segala bentuk. Menurut Alfian Rokhmansyah(2013) di bukunya yang berjudul pengantar gender dan feminisme, patriarki
berasal dari kata patriakat, berarti struktur yang menempatkan peran laki-laki
sebagai penguasa tunggal, sentral, dan segala-galanya.
Narasi yang menganggap perempuan lemah memperkuat
budaya patriarkat. Pandangan seperti ini sulit dihilangkan karena sudah melekat
dalam kehidupan masyarakat. Perempuan terus mendapatkan tempat kedua di
pelbagai bidang kehidupan. Derajat
perempuan yang berada di bawah kaum laki-laki menyebabkan perempuan banyak
mengalami penindasan baik secara fikis maupun psikis.
Pada masa modern saat ini budaya partiarkat
bisa kita jumpai pada institusi paling kecil. Dalam konteks keluarga, seorang
laki-laki lebih diutamakan hal pendidikannya dibanding perempuan. Perempuan
yang melahirkan anak, maka harus bertanggung jawab terhadap urusan rumah
tangga, merawat, serta mengawasi anak.
Melacak Jejak Patriarki
Budaya
patriarki bisa kita lacak kemunculannya pada kurun waktu sebelum masehi. Pada agama
Hindu bisa dilihat sejak zaman vedic
1500 tahun sebelum masehi, dimana seorang perempuan tidak mendapat harta
warisan setelah suaminya meninggal. Agama Budha mengharuskan perempuan nikah
sebelum beranjak ke masa pubertasnya. Perempuan pada masa itu tidak mengenyam
pendidikan yang baik sehingga banyak mengalami buta huruf. Agama Yahudi tidak
memperbolehkan perempuan mengikuti upacara keagamaan karena dianggap tidak suci
atau najis.
Eropa tak luput dari adanya budaya patriarki. Asal-usul “tukar cincin” pada bangsa Eropa
berasal dari adat merampas perempuan: si perempuan diikat, dirantai oleh pihak
yang merampas dimana lambat laun adat itu diperhalus menjadi lebih sopan. Pada
masa Romawi sendiri cenderung sudah diperhalus, pengantin perempuan diberikan
cincin besi. Masa setelahnya besi itu digantikan yang lebih berharga seperti emas,
perak dan sebagainya. Sekarang tukar cincin dimaknai sebagai tanda setia antar pasangan.
Maka demikianlah, sifat-sifat patriarchat
liar itu masih saja berkesan di zaman sekarang ini.
Patriarki di Indonesia
Orang Batak yang kawin harus
membayar uang ”mangoli” untuk membeli
perempuan calon istrinya. Orang yang tidak mempunyai banyak uang bisa membeli
kekasihnya dengan kerja keras. Adat seperti itu melegitimasi perempuan sebagai
barang yang perjual-belikan. Adat membayar uang “jeunamee” ketika akan kawin ada di salah satu daerah Aceh. Bengkulu
terdapat adat sama seperti itu, dimana ada adat jual-beli perempuan.
Daerah Lampung sangat kental dengan budaya patriarki
di aspek pernikahan. Ketika perempuan dinikahi, maka ia sudah tidak memiiki
hak apapun lagi, segala yang dimiliki tak terkecuali anak menjadi milik seorang
suami.
Pada daerah flores uang pembelian
bisa sangat tinggi sekali, dikarenakan mematok uang yang sangat tinggi
menyebabkan banyak sekali perempuan berumur tua yang belum menikah.
Kebalikan
patriakat yakni matriarkat, didasarkan pada hubungan kasih sayang antara ibu
dan anak. Budaya ini sering dikatakan sebagai perlawanan atas budaya patriarkat.
Kita ambil contoh budaya orang minangkabau yang perempuannya cenderung lebih
mandiri dibanding daerah lain. Dapat dibandingkan dengan kebudayaan jawa yang
menjunjung tinggi nilai patriarki.
Pernikahan dalam jawa sering dikaitkan pada anak-anak
kecil, yang kemudian dinamakan sebagai gantung
kawin (pernikahan yang menggantung). Sejak kecil mereka sudah dijodohkan
dan pada usai balik nanti akan dinikahkan. Hal ini menguntungkan orang tua
karena kesesuaian dan keuntungan perjodohan yang mungkin ada karena pengaruh
dari lingkungan. Sistem pernikahan seperti ini masih ada tetapi sudah mulai di
tinggalkan karena sudah tidak sesuai dengan perkembangan zaman.
Orang jawa memiliki tradisi lisan yang tetap
dilanggengkan yakni, dapur, kasur, sumur. Itulah
kerja seorang istri. Dapur berarti perempuan
bekerja membuat makanan untuk keluarga, kasur
dimaksudkan bahwa perempuan harus hormat melayani suaminya. Sumur yakni seorang perempuan jawa
bertugas mengurusi cucian. Konsep ini dapat diartikan sebagai perempuan hanya
boleh bekerja dirumah atau di belakang saja.
Masa kolonial Belanda merupakan salah satu
masa kelam terhadap hak perempuan. Kebanyakan perempuan pribumi dijadikan
pemuas seks kaum laki-laki. Perempuan sulit mengenyam pendidikan kecuali
golongan bangsawan dan priyai.
Perkembangan Dewasa ini
Saat ini budaya patriarki masih langgeng
berkembang di dalam tatanan sosial masyarakat Indonesia. Budaya ini berkembang
di pelbagai aspek kehidupan masyarakat Indonesia baik bidang ekonomi, sosial, politik
bahkan pendidikan. Oleh karena itu, banyak terjadi masalah terhadap perempuan
yang membatasi kebebasan dalam kehidupan.
Kultur
patriarki khususnya di wilayah Asia sudah pernah memunculkan pemimpin perempuan
mulai dari Indonesia, Filipina, Pakistan. Megawati Soekarno Putri merupakan
presiden perempuan pertama di Indonesia. Pengangkatan dianggap tidak pantas
karena belum dapat dibandingkan dengan presiden lain yang setara. Kultur patriarki
melekat membentuk wacana pesimistis terhasap sosok figur perempuan.
Bagaimana Patriarki Menjadi Masalah
Sistem patriarki
menjadikan laki-laki memiliki hak istimewa terhadap kaum perempuan. Dominasi
yang dilakukan oleh kaum laki-laki tidak hanya dalam bentuk dominasi personal,
melainkan juga dominasi di aspek politik, hukum,agama, pendidikan,ekonomi,
budaya bahkan hukum.
Ajegnya budaya patriarki yang melekat dalam
kehidupan keluarga menyebabkan banyak dampak yang dirasakan perempuan. Dalam Konteks
keluarga perempuan harus tunduk terhadap kekuatan laki-laki yang lebih mendominasi.
Stigma yang menyatakan bahwa istri tidak mau tunduk terhadap sang suami adalah
sesuatu perbuatan dosa, memperkuat budaya ini terus bekembang.
Sampai sekarang
ini, wanita menjadi sasaran dalam permasalahan social. Seperti KDRT(Kekerasan
Dalam Rumah Tangga), Pelecehan seksual, pemerkosaan, pernikahan dini.
Budaya patriarki mempengaruhi sendi kehidupan
masyakat masa kini. Orang menggoda perempuan dianggap biasa saja, padahal
terdapat unsur pelecehan di dalamnya.
Ada pula yang disebut victimblaming atau suatu kondisi dimana pihak korban yang justru
menjadi objek atau sasaran kesalahan dari sebuah kejadian. Biasanya perempuan
sering dijadikan pelaku karena disalahkan entah cara berpakaian, tingkah laku
dan sebagainya. Alasan lain terjadi pelecehan seksual adalah libido laki-laki
yang tinggi menyebabkan sulit untuk ditahan.
Penulis: Feby Dani
Editor: Feby Dani
Referensi:
Referensi:
Irma Sakina, Ade dan Siti A, Dessy Hasanah. 2017. Menyoroti Budaya Patriarki di Indonesia.
Bandung: Universitas Padjajaran Press
Sukarno. 2014. Sarinah Kewajiban Perempuan Dalam Perjuangan Republik Indonesia.
Yogyakarta: YAYASAN BUNG KARNO
Wieringa, Saskia E. 2010. Penghancuran Gerakan Perempuan, Politik
Seksual Di Indonesia Pascakejatuhan PKI. Yogyakarta: Galangpress
Raffles, Thomas Stamford. 2014. The History of Java. Yogyakarta:
Penerbit
NARASI
Comments
Post a Comment